Sport Science Untuk Sepak Bola Indonesia Yang Lebih Baik
Memajukan sepak bola tidak bisa dengan cara-cara lama, tapi harus dengan pendekatan sport science,”
Kata-kata
seperti di atas mungkin kerap kali terdengar dari tokoh-tokoh pembina sepak
bola kita. Ya, Sport science telah
menjadi istilah yang lazim digunakan untuk menunjukkan keseriusan melakukan
reformasi pengembangan sepak bola di tanah air. Bahkan oleh Ketua PSSI saat
ini, Djohar Arifin menjadikan sport
science sebagai salah satu dari lima pilar pengembangan sepak bola dalam
program kerjanya.
Sebegitu
penting dan berpengaruhkah penerapan sport
science untuk memajukan prestasi sepak bola tanah air yang semakin lama
semakin terpuruk ini. Atau mungkin sport
science hanyalah sebuah istilah “manis” yang lagi-lagi cuma sekedar wacana
alias mimpi.
Istilah
sport science ini memang terdengar “keren”
dan intelek tapi sejujurnya masih banyak yang salah dalam pemahaman dan
relalisasinya. Sebenarnya apa Itu sport
science? Sport science secara
harfiah bermaknakan ilmu olah raga atau ilmu keolahragaan. Tapi pemakaian nama sport science lebih umum digunakan untuk
menunjukkan disiplin ilmu tersebut. Sedangkan definisinya seperti yang dijelaskan
Wikipedia, sport science adalah disiplin ilmu yang mempelajari penerapan dari
prinsip-prinsip science dan teknik-teknik yang bertujuan
untuk meningkatkan prestasi olahraga.
Sport
science biasanya
mencakup beberapa bidang keilmuan, yaitu bagian kepelatihan, kedokteran, fisiologi
dan rehabilitasi, psikologi, gizi, motor
control, dan biomekanika. Juga meliputi bidang lain seperti sports technology, anthropometry, kinanthropometry, dan performance analysis. Tujuannya adalah
secara kolektif mewujudkan sebuah program latihan atau materi untuk meningkatkan
daya saing dalam menghadapi sebuah pertandingan atau kompetisi.
Sebagai
gambaran sederhana bisa kita lihat penerapan sport science pada klub-klub sepak bola profesional di Eropa.
Seorang pelatih kepala, katakanlah seorang Jose Mourinho. Mou hanya bertugas
untuk mengatur pola latihan murni seperti taktik bertahan, menyerang, perangkap
off-side, set piece dan lain-lain yang berhubungan dengan strategi bermain. Untuk
urusan kebugaran pemain sudah menjadi tanggung jawab pelatih fisik. Biasanya
seorang pelatih fisik memberikan porsi latihan fisik diluar porsi latihan dari
pelatih kepala.
Apabila
ada pemain yang cedera ini menjadi tugas dokter tim dan fisioterapis. Dokter
mendiagnosis cedera dan melakukan terapi-terapi penyembuhan bagi si pemain.
Dalam keadaan cedera si pemain juga didampingi oleh seorang fisioterapis. Seorang
fisioterapis inilah yang akan memberikan usaha-usaha rehabilitasi untuk
membantu mengembalikan fungsi tubuh cedera ke fungsi normal. Biasanya dalam
bentuk-bentuk latihan ringan yang dilakukan terpisah di luar lapangan.
Pentingnya Sport Science
Sport science
kini menjadi faktor penting dalam pengembangan prestasi pesepak bola. Tentu kita
masih ingat dengan cerita masa kecil Lionel Messi yang mengalami kekurangan
hormon pertumbuhan. Saat itu “Si Kutu” divonis pertumbuhannya tidak akan
maksimal. Diperkirakan tinggi badan Messi saat dewasa hanya mencapai sekitar
140 cm. Klub raksasa Spanyol, Barcelona yang melihat bakat besar dalam diri
Messi membawanya ke La Masia. Selama
berada di Barcelona oleh tim dokter klub Messi mendapat suntikan hormon
pertumbuhan. Alhasil, kini Messi telah menjelma menjadi pemain terbaik dunia.
Sepak bola bukan ilmu pengetahuan,
tetapi ilmu pengetahuan dapat meningkatkan level kualitas sepak bola.
Dalam sport science, seorang pelatih kepala
(head coach) bukan pusat dari
segalanya. Penerapan sport science ditujukan untuk
mempermudah dan mendukung kerja pelatih kepala. Seorang
pelatih tidak mungkin secara bersamaan menjadi seorang ahli gizi untuk mengatur
nutrisi yang perlu diasup pemain, menjadi dokter untuk melakukan terapi
penyembuhan bagi pemain cedera atau menjadi psikolog untuk meningkatkan mental
pemain. Untuk mewujudkan prestasi maksimal sebuah tim, pelatih memerlukan
masukan dan teori dari pakar ilmu olah raga menurut disiplin ilmunya
masing-masing.
Di
negara-negara sepak bolanya maju, sport
science sudah sejak lama diterapkan untuk mengembangkan potensi pesepak
bola negaranya. Negara-negara tersebut berlomba-lomba mengembangkan sepak bola
yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Korea dan Jepang yang puluhan tahun yang lalu
prestasi sepak bolanya masih di bawah Indonesia kini telah berkembang pesat.
Mereka telah berhasil mengembangkan sepak bola lewat ilmu pengetahuan.
Klub-klub
profesional elit Eropa seperti Real Madrid, Manchester United dan AC Milan juga
menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Pemain-pemain muda produk akademi
klub-klub tersebut sudah ditempa dengan pendekatan science. Bahkan AC Milan memiliki laboratorium sport science sendiri yang mereka beri nama Milan Lab.
Lalu
bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Masih jauh panggang dari api, di
Indonesia sport science belumlah
diterapkan dengan sepenuhnya. Walaupun sudah diwacanakan sejak lama, pada
kenyataannya penerapan sport science cenderung
stagnan.
Untuk
level klub sport science belum
terlalu dikembangkan di klub-klub Indonesia. Sebagaian kecil -- biasanya klub-klub
dengan finansial mapan -- sudah mencoba menerapkannya, tapi memang belum
sepenuhnya. Di departemen tertentu seperti pelatih fisik, dokter dan
fisioterapis mereka miliki tapi departemen lainnya seperti psikologis dan ahli
gizi sering terlupakan.
Sebagian
besar klub Indonesia lainnya malah masih
berkutat dengan masalah klasik: dana. Ya,
boro-boro membayar tenaga ahli sport
science, untuk melunasi gaji pemain dan operasional tim saja sudah susah
payah bahkan tidak mampu. Akhirnya sport
science di klub-klub Indonesia hanya sekedar mimpi di siang bolong.
Contoh
paling menonjol aplikasi sport science
di sepak bola tanah air adalah pada timnas U-19. Banyak pengamat berpendapat
keberhasilan Evan Dimas dkk. meraih gelar piala AFF U-19 tidak lepas dari
implementasi sport science dalam
tubuh tim Garuda Jaya. Indra Sjafri seorang pelatih yang menyukai hal-hal baru
dalam metode kepelatihannya, merekrut pakar-pakar sport science untuk mendukung kerjanya.
Masih
ingat bagaimana Garuda Jaya seakan tak pernah lelah sepanjang pertandingan
bahkan hingga babak extra time pada
piala AFF U-19 lalu. Orang di balik
begitu primanya fisik punggawa Timnas U-19 adalah seorang pelatih fisik bernama
Nur Saelan, yang sudah berpengalaman selama 26 tahun menjadi pelatih fisik
sepak bola. Jangan lupa peran Alfan Nur sebagai dokter tim dan Adit sebagai fisioterapis
yang melakukan usaha recovery dan pencegahan
cedera dengan menerapkan krioterapi (terapi menggunakan suhu melalui media air)
bagi setiap pemain usai latihan dan pertandingan.
Tidak
kalah penting peran High Performance Unit
(HPU) yang diemban oleh Rudy Eka Priambada. Beliaulah yang membuat analisis
statistik dan memperbandingkan strategi lawan dengan timnas. Hasil analisis
Rudy menjadi masukan kepada pelatih kepala untuk menerapkan strategi yang cocok.
Jelas
sekali bahwa sport science telah memaksimalkan
potensi pesepak bola. Apa yang dilakukan Indra Sjafri dan stafnya adalah
bukanlah hal yang luar biasa. Karena seyogyanya yang dilakukan coach Indra adalah hal yang sudah biasa
dilakukan di negara-negara maju. Tapi memang di Indonesia sport science belum menjadi hal yang umum. Tapi kita tetap patut
mengapresiasi perubahan yang dilakukan oleh coach
Indra.
Di
luar sana masih banyak pesepak bola kita yang mengkonsumsi makanan tinggi kandungan
lemak. Masih banyak pesepak bola kita yang lebih memilih memulihkan cedera ke
tukang pijat tradisional yang konon tidak tahu menahu tentang anatomi tubuh.
Masih banyak pelatih yang memberi materi latihan fisik yang porsinya tidak
sesuai. Masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan di sepak bola kita yang sangat bertentangan
dengan sport science.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar